CYBER CRIME
Diajukkan umtuk memenuhi tugas etika profesi
teknologi informasi dan komunikasi
Disusun Oleh:
NAMA NIM
DARYO :
12122538
NANANG HARTONO
: 12123196
Jurusan Manajemen Informatika
Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Bina
Sarana Informatika
Bekasi-2014
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL …………………………………………………………………………………………... i
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………………………...ii
BAB II PENDAHULUAN…………………………………………………………………………… 1
1.1 Latar belakang……………………………………………………………………………………
2
1.2 Tujuan…………………………………………………………………………………………….
3
1.3 Ruang lingkup…………………………………………………………………………………….4
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………………………... 5
2.1 Pengertian Cyber crime
…………………………………………………………………………..
6
2.2 Pengaturan Cybercrime dalam Perundang-undangan
Indonesia ………………………… 7
2.3 Permasalahan dalam Penyidikan terhadap Cybercrime
…………………………………. 8
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………………………………………………………..9
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………………………….... 10
3.2 Saran ………………………………………………………………………………………………11
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………………………...
12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan yang pesat dari teknologi telekomunikasi
dan teknologi komputer dilandasi oleh perkembangan yang terjadi pada bidang
mikro elektronika, material, dan perangkat lunak. Teknologi komputer adalah berupa computer network yang
kemudian melahirkan suatu ruang komunikasi dan informasi global yang
dikenal dengan internet. Penggunaan teknologi komputer, telekomunikasi,
dan informasi tersebut mendorong berkembangnya transaksi melalui internet di
dunia. Perusahaan-perusahaan berskala dunia semakin banyak memanfaatkan
fasilitas internet. Sementara itu tumbuh transaksi-transaksi melalui elektronik
atau on-line dari berbagai sektor, yang kemudian memunculkan istilah e-banking,
e-commerce, e-trade,e-business, e-retailing. (Andi Hamzah, 1990:23-24).
Perkembangan yang pesat dalam pemanfaatan jasa
internet juga mengundang terjadinya kejahatan. Cybercrime merupakan
perkembangan dari computer crime. Cybercrime adalah suatu bentuk kejahatan
virtual dengan memanfaatkan media komputer yang terhubung ke internet, dan
mengekploitasi komputer lain yang terhubung dengan internet juga. Rene L.
Pattiradjawane menyebutkan bahwa konsep hukum cyberspace, cyberlaw dan
cyberline yang dapat menciptakan komunitas pengguna jaringan internet yang luas
(60 juta), yang melibatkan 160 negara telah menimbulkan kegusaran para praktisi
hukum untuk menciptakan pengamanan melalui regulasi, khususnya perlindungan
terhadap milik pribadi.
John Spiropoulos mengungkapkan bahwa cybercrime
memiliki sifat efisien dan cepat serta sangat menyulitkan bagi pihak penyidik
dalam melakukan penangkapan terhadap pelakunya. Hukum yang salah satu fungsinya
menjamin kelancaran proses pembangunan nasional sekaligus mengamankan
hasil-hasil yang telah dicapai harus dapat melindungi hak para pemakai
jasa internet sekaligus menindak tegas para pelaku cybercrime. Adapun
jenis-jenis cybercrime, antara lain :
1. Pengiriman dan
penyebaran virus.
2. Pemalsuan
identitas diri.
3. Penyebar-luasan
pornografi.
4. Penggelapan data
orang lain.
5. Pencurian data.
6. Pengaksesan data
secara illegal (hacking).
7. Pembobolan
rekening bank.
8. Perusakan situs
(cracking).
9. Pencurian nomer
kartu kredit (carding).
10. Penyediaan informasi palsu atau
menyesatkan.
11. Transaksi bisnis illegal.
12. Phishing (rayuan atau tawaran bisnis
agar mau membuka rahasia pribadi).
13. Botnet (penguasaan software milik
korban untuk kegiatan pelaku menyerang komputer lain).
Beberapa masalah cybercrime yang terjadi di
Indonesia adalah pencurian nomer kartu kredit (carding). Para pelaku carding
biasa disebut carder atau frauder. Mereka adalah orang-orang yang mampu dan
dapat menggunakan kartu kredit milik orang lain dengan cara membobol nomor
kartu kredit tersebut tanpa diketahui pemiliknya, dan menggunakan kartu kredit
tersebut untuk berbelanja lewat internet. Paper ini merupakan kajian terhadap
bentuk-bentuk cybercrime sebagai sebuah kejahatan, pengaturannya dalam sistem
perundang-undangan Indonesia dan hambatan-hambatan yang ditemukan dalam
penyidikan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut yang telah diuraikan
maka dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
bentuk-bentuk Cybercrime di Indonesia?
2. Apakah
undang-undang yang berlaku di Indonesia dapat diterapkan terhadap semua bentuk
Cybercrime tersebut?
3. Masalah-masalah
apa saja yang ditemukan dalam proses penyidikan terhadap Cybercrime?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Cyber Crime
Perkembangan teknologi jaringan komputer global atau
Internet telah menciptakan dunia baru yang dinamakan cyberspace, sebuah dunia
komunikasi berbasis komputer yang menawarkan realitas yang baru, yaitu realitas
virtual. Istilah cyberspace muncul pertama kali dari novel William Gibson
berjudul Neuromancer pada tahun 1984. Istilah cyberspace pertama kali digunakan
untuk menjelaskan dunia yang terhubung langsung (online) ke internet oleh Jhon
Perry Barlow pada tahun 1990.
Secara etimologis, istilah cyberspace sebagai suatu
kata merupakan suatu istilah baru yang hanya dapat ditemukan di dalam kamus
mutakhir. Pengertian cyberspace tidak terbatas pada dunia yang tercipta ketika
terjadi hubungan melalui internet. Perkembangan teknologi komputer juga
menghasilkan berbagai bentuk kejahatan komputer di lingkungan cyberspace yang
kemudian melahirkan istilah baru yang dikenal dengan Cybercrime, Internet
Fraud, dan lain-lain.
Sebagian besar dari perbuatan Cybercrime dilakukan
oleh seseorang yang sering disebut dengan cracker. Kegiatan hacking atau
cracking yang merupakan salah satu bentuk cybercrime tersebut telah membentuk
opini umum para pemakai jasa internet bahwa Cybercrime merupakan suatu
perbuatan yang merugikan bahkan amoral. Para korban menganggap atau memberi
stigma bahwa cracker adalah penjahat. Perbuatan cracker juga telah melanggar
hak-hak pengguna jasa internet sebagaimana digariskan dalam The Declaration of
the Rights of Netizens yang disusun oleh Ronda Hauben. David I. Bainbridge
mengingatkan bahwa pada saat memperluas hukum pidana, harus ada kejelasan
tentang batas-batas pengertian dari suatu perbuatan baru yang dilarang sehingga
dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana dan juga dapat dibedakan dengan
misalnya sebagai suatu perbuatan perdata.
Kejahatan fraud sedang menjadi trend bagi beberapa
kalangan pengguna jasa internet. Channel #cc, #ccs, #cchome atau #cvv2 pada
server-server IRC favorit, seperti: DALnet, UnderNet dan Efnet banyak
dikunjungi orang dari seluruh dunia untuk mencari kartu-kartu kredit bajakan
dengan harapan dapat digunakan sebagai alat pembayaran ketika mereka berbelanja
lewat Internet..
Modus Kejahatan Kartu Kredit (Carding) umumnya berupa
:
a. Mendapatkan nomor kartu kredit (CC) dari tamu hotel.
b. Mendapatkan nomor kartu kredit melalui kegiatan
chatting di Internet.
c. Melakukan pemesanan barang ke perusahaan di luar
negeri dengan menggunakan Jasa Internet.
d. Mengambil dan memanipulasi data di Internet.
e. Memberikan keterangan palsu, baik pada waktu pemesanan
maupun pada saat pengambilan barang di Jasa Pengiriman (kantor pos, UPS, Fedex,
DHL, TNT, dsb.).
Contoh kasus kejahatan kartu kredit melalui internet
dapat dikemukakan dari suatu hasil penyidikan pihak Korps Reserse POLRI Bidang
Tindak Pidana Tertentu di Jakarta terhadap tersangka berinisial BRS, seorang
Warga Negara Indonesia yang masih berstatus sebagai mahasiswa Computer Science
di Oklahoma City University USA. Ia disangka melakukan tindak pidana penipuan
dengan menggunakan sarana internet, menggunakan nomor dan kartu kredit milik
orang lain secara tidak sah untuk mendapatkan alat-alat musik, komputer dan
Digital Konverter serta menjualnya, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 378 atau 263 atau 480 KUHP.
Tersangka mendapatkan nomor-nomor kartu kredit secara
acak melalui Search Engine mencari “Program Card Generator” di Internet.
Tersangka menggunakan Program Card Generator versi IV, kemudian hasil dari
generator tersebut disimpan Tersangka dalam file di “My Document” dan sebagian
dari nomor-nomor itu digunakan Tersangka untuk melakukan transaksi di Internet.
Selain itu Tersangka mendapatkan nomor-nomor kartu kredit dari saluran MIRC
“JOGYA CARDING “.
Cara Tersangka menggunakan kartu kredit secara tidak
sah sehingga mendapatkan barang yang diinginkannya adalah sebagai berikut:
Pertama, Tersangka Online menggunakan internet,
kemudian Tersangka membuka situs : www.PCVideoOnline.com lalu memilih komputer
atau laptop yang akan dibeli dan dimasukan ke Shoping Bag.
Kedua, setelah barang-barang yang diperlukan atau yang
akan dibeli dirasa cukup, kemudian Tersangka menekan (klik) tombol Checkout dan
selanjutnya mengisi formulir tentang informasi pembayaran dan informasi tujuan
pengiriman. Dalam informasi pembayaran Tersangka mengetikkan nama, alamat
tempat tinggal, dan alamat email. Dalam informasi tujuan tersangka mengetikkan
data yang sama.
Ketiga, Tersangka memilih metode pengiriman barang
dengan menggunakan perusahaan jasa pengriman UPS (United Parcel Service).
Keempat, Tersangka melakukan pembayaran dengan cara
memasukkan atau mengetikkan nomor kartu kredit, mengetikan data Expire Date
(masa berlakunya), kemudian menekan tombol (klik) Submit.
Terakhir, Tersangka mendapatkan email/invoice
konfirmasi dari pedagang tersebut ke email Tersangka bahwa kartu kredit yang
digunakan valid dan dapat diterima, email tersebut disimpan Tersangka di salah
satu file di komputer Tersangka.
Cara Tersangka mengambil barang dari perusahaan jasa
pengiriman adalah melalui seseorang berinisial PE yang berdasarkan referensi
dari seorang karyawan perusahaan jasa pengiriman AIRBORNE EXPRESS dapat
memperlancar pengeluaran paket kiriman. Tersangka memberi Tracking Number
kepada PE, kemudian PE yang mengeluarkan paket kiriman tersebut dan
mengantarnya ke rumah Tersangka.
Berdasarkan bentuk-bentuk kejahatan sebagaimana telah
dikemukakan oleh beberapa penulis serta memperhatikan kasus-kasus cybercrime
yang sering terjadi, maka kualifikasi cybercrime berdasarkan Tindak pidana yang
berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem
computer yaitu:
a. Illegal Access (akses secara tidak sah terhadap sistem komputer), yaitu dengan
sengaja dan tanpa hak melakukan akses secara tidak sah terhadap seluruh atau
sebagian sistem komputer, dengan maksud untuk mendapatkan data komputer atau
maksud-maksud tidak baik lainnya, atau berkaitan dengan sistem komputer yang
dihubungkan dengan sistem komputer lain. Hacking merupakan salah satu dari
jenis kejahatan ini yang sangat sering terjadi.
b. Data Interference (mengganggu data komputer), yaitu dengan sengaja melakukan perbuatan
merusak, menghapus, memerosotkan (deterioration), mengubah atau menyembunyikan
(suppression) data komputer tanpa hak. Perbuatan menyebarkan virus komputer
merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sering terjadi.
c. System Interference (mengganggu sistem komputer), yaitu dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
gangguan terhadap fungsi sistem komputer dengan cara memasukkan, memancarkan,
merusak, menghapus, memerosotkan, mengubah, atau menyembunyikan data komputer.
Perbuatan menyebarkan program virus komputer dan E-mail bombings (surat
elektronik berantai) merupakan bagian dari jenis kejahatan ini yang sangat
sering terjadi.
d. Illegal Interception in the computers, systems and
computer networks operation(intersepsi
secara tidak sah terhadap komputer, sistem, dan jaringan operasional komputer),
yaitu dengan sengaja melakukan intersepsi tanpa hak, dengan menggunakan
peralatan teknik, terhadap data komputer, sistem komputer, dan atau jaringan
operasional komputer yang bukan diperuntukkan bagi kalangan umum, dari atau
melalui sistem komputer, termasuk didalamnya gelombang elektromagnetik yang
dipancarkan dari suatu sistem komputer yang membawa sejumlah data. Perbuatan
dilakukan dengan maksud tidak baik, atau berkaitan dengan suatu sistem komputer
yang dihubungkan dengan sistem komputer lainnya.
e. Data Theft (mencuri data), yaitu kegiatan memperoleh data komputer secara tidak
sah, baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan kepada orang lain.
Identity theft merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sering
diikuti dengan kejahatan penipuan (fraud). Kejahatan ini juga sering diikuti
dengan kejahatan data leakage.
f. Data leakage and Espionage (membocorkan data dan memata-matai), yaitu
kegiatan memata-matai dan atau membocorkan data rahasia baik berupa rahasia
negara, rahasia perusahaan, atau data lainnya yang tidak diperuntukkan bagi
umum, kepada orang lain, suatu badan atau perusahaan lain, atau negara asing.”
g. Misuse of Devices (menyalahgunakan peralatan komputer), yaitu dengan sengaja dan tanpa
hak, memproduksi, menjual, berusaha memperoleh untuk digunakan, diimpor,
diedarkan atau cara lain untuk kepentingan itu, peralatan, termasuk program
komputer, password komputer, kode akses, atau data semacam itu, sehingga
seluruh atau sebagian sistem komputer dapat diakses dengan tujuan digunakan
untuk melakukan akses tidak sah, intersepsi tidak sah, mengganggu data atau
sistem komputer, atau melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum lain.
2. 2 Pengaturan Cybercrime dalam Perundang-undangan
Indonesia
Sistem perundang-undangan di Indonesia belum mengatur
secara khusus mengenai kejahatan komputer termasuk cybercrime. Mengingat terus
meningkatnya kasus-kasus cybercrime di Indonesia yang harus segera dicari
pemecahan masalahnya maka beberapa peraturan baik yang terdapat di dalam KUHP
maupun di luar KUHP untuk sementara dapat diterapkan terhadap beberapa
kejahatan berikut ini:
a. Illegal Access (akses secara tidak sah terhadap sistem
komputer)
Perbuatan melakukan akses secara tidak sah terhadap
sistem komputer belum ada diatur secara jelas di dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia. Untuk sementara waktu, Pasal 22 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dapat diterapkan.
Pasal 22 Undang-Undang Telekomunikasi menyatakan: “Setiap orang dilarang
melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
· Akses ke jaringan telekomunikasi,
· Akses ke jasa telekomunikasi,
· Akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
Pasal 50 Undang-Undang Telekomunikasi memberikan ancaman
pidana terhadap barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 22 Undang-Undang
Telekomunikasi dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
b. Data Interference (mengganggu data komputer) dan
System interference (mengganggu sistem komputer)
Pasal 38 Undang-Undang Telekomunikasi belum dapat
menjangkau perbuatan data interference maupun system interference yang dikenal
di dalam Cybercrime. Jika perbuatan data interference dan system interference
tersebut mengakibatkan kerusakan pada komputer, maka Pasal 406 ayat (1) KUHP
dapat diterapkan terhadap perbuatan tersebut.
c. Illegal Interception in the computers, systems and
computer networks operation (intersepsi secara tidak sah terhadap operasional
komputer, sistem, dan jaringan komputer)
Pasal 40 Undang-Undang Telekomunikasi dapat diterapkan
terhadap jenis perbuatan intersepsi ini. Pasal 56 Undang-Undang Telekomunikasi
memberikan ancaman pidana terhadap barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal
40 tersebut dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
d. Data Theft (mencuri data)
Perbuatan melakukan pencurian data sampai saat ini
tidak ada diatur secara khusus, bahkan di Amerika Serikat sekalipun. Pada kenyataannya,
perbuatan Illegal access yang mendahului perbuatan data theft yang dilarang,
atau jika data thef diikuti dengan kejahatan lainnya, barulah ia menjadi suatu
kejahatan bentuk lainnya, misalnya data leakage and espionage dan identity
theft and fraud. Pencurian data merupakan suatu perbuatan yang telah mengganggu
hak pribadi seseorang, terutama jika si pemiik data tidak menghendaki ada orang
lain yang mengambil atau bahkan sekedar membaca datanya tersebut. Jika para
ahli hukum sepakat menganggap bahwa perbuatan ini dapat dimasukkan sebagai
perbuatan pidana, maka untuk sementara waktu Pasal 362 KUHP dapat diterapkan.
e. Data leakage and Espionage (membocorkan data dan
memata-matai)
Perbuatan membocorkan dan memata-matai data atau
informasi yang berisi tentang rahasia negara diatur di dalam Pasal 112, 113,
114, 115 dan 116 KUHP.
Pasal 323 KUHP mengatur tentang pembukaan rahasia
perusahaan yang dilakukan oleh orang dalam (insider). Sedangkan perbuatan
membocorkan data rahasia perusahaan dan memata-matai yang dilakukan oleh orang
luar perusahaan dapat dikenakan Pasal 50 jo. Pasal 22, Pasal 51 jo. Pasal 29
ayat (1), dan Pasal 57 jo. Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Telekomunikasi.
f. Misuse of Devices (menyalahgunakan peralatan
komputer),
Perbuatan Misuse of devices pada dasarnya bukanlah
merupakan suatu perbuatan yang berdiri sendiri, sebab biasanya perbuatan ini
akan diikuti dengan perbuatan melawan hukum lainnya. Sistem perundang-undangan
di Indonesia belum ada secara khusus mengatur dan mengancam perbuatan ini
dengan pidana. Hal ini tidak menjadi persoalan, sebab yang perlu diselidiki
adalah perbuatan melawan hukum apa yang mengikuti perbuatan ini. Ketentuan yang
dikenakan bisa berupa penyertaan (Pasal 55 KUHP), pembantuan (Pasal 56 KUHP)
ataupun langsung diancam dengan ketentuan yang mengatur tentang perbuatan
melawan hukum yang menyertainya.
g. Credit card fraud (penipuan kartu kredit)
Penipuan kartu kredit merupakan perbuatan penipuan
biasa yang menggunakan komputer dan kartu kredit yang tidak sah sebagai alat
dalam melakukan kejahatannya sehingga perbuatan tersebut dapat diancam dengan
Pasal 378 KUHP.
h. Bank fraud (penipuan bank)
Penipuan bank dengan menggunakan komputer sebagai alat
melakukan kejahatan dapat diancam dengan Pasal 362 KUHP atau Pasal 378 KUHP,
tergantung dari modus operandi perbuatan yang dilakukannya.
i. Service Offered fraud (penipuan melalui penawaran
suatu jasa)
Penipuan melalui penawaran jasa merupakan perbuatan
penipuan biasa yang menggunakan komputer sebagai salah satu alat dalam
melakukan kejahatannya sehingga dapat diancam dengan Pasal 378 KUHP.
j. Identity Theft and fraud (pencurian identitas dan
penipuan)
Pencurian identitas yang diikuti dengan melakukan
kejahatan penipuan dapat diancam dengan Pasal 362 KUHP atau Pasal 378 KUHP,
tergantung dari modus operandi perbuatan yang dilakukannya.
k. Computer-related betting (perjudian melalui komputer)
Perjudian melalui komputer merupakan perbuatan
melakukan perjudian biasa yang menggunakan komputer sebagai alat dalam
operasinalisasinya sehingga perbuatan tersebut dapat diancam dengan Pasal 303
KUHP.
2.3 Permasalahan dalam Penyidikan terhadap Cybercrime
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan,
hambatan-hambatan yang ditemukan di dalam proses penyidikan antara lain adalah
sebagai berikut:
a) Kemampuan penyidik
Secara umum penyidik Polri masih sangat minim dalam
penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta
kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus itu. Beberapa faktor yang
sangat berpengaruh (determinan) adalah: Kurangnya pengetahuan tentang
komputerdan pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani
kasus-kasus cybercrime masih terbatas. Tidak ada satu orang pun yang pernah mendapat
pendidikan khusus untuk melakukan penyidikan terhadap kasus cybercrime.
Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan
penyidik yang cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya
diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan menguasai administrasi
penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profilhacker
·
Alat Bukti
Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan
terhadap Cybercrime antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan
cybercrime itu sendiri, yaitu:
· Sasaran atau media cybercrime adalah data dan atau
sistem komputer atau sistem internet yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau
disembunyikan oleh pelakunya. Oleh karena itu, data atau sistem komputer atau
internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus direkam sebagai bukti
dari kejahatan yang telah dilakukan. Permasalahan timbul berkaitan dengan
kedudukan media alat rekaman (recorder) yang belum diakui KUHAP sebagai alat
bukti yang sah.
· Kedudukan saksi korban dalam cybercrime sangat penting
disebabkan cybercrime seringkali dilakukan hampir-hampir tanpa saksi. Di sisi
lain, saksi korban seringkali berada jauh di luar negeri sehingga menyulitkan
penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan pemberkasan hasil penyidikan. Penuntut
umum juga tidak mau menerima berkas perkara yang tidak dilengkapi Berita Acara
Pemeriksaan Saksi khususnya saksi korban dan harus dilengkapi dengan Berita
Acara Penyumpahan Saksi disebabkan kemungkinan besar saksi tidak dapat hadir di
persidangan mengingat jauhnya tempat kediaman saksi. Hal ini mengakibatkan
kurangnya alat bukti yang sah jika berkas perkara tersebut dilimpahkan ke
pengadilan untuk disidangkan sehingga beresiko terdakwa akan dinyatakan bebas.
Mengingat karakteristik cybercrime, diperlukan aturan khusus terhadap beberapa
ketentuan hukum acara untuk cybercrime. Pada saat ini, yang dianggap paling
mendesak oleh Peneliti adalah pengaturan tentang kedudukan alat bukti yang sah
bagi beberapa alat bukti yang sering ditemukan di dalam Cybercrime seperti data
atau sistem program yang disimpan di dalam disket, hard disk, chip, atau media
recorder lainnya.
·
Fasilitas komputer forensik
Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan
phreacker dalam
melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan
data-data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer
forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta
merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam
hal ini Polri masih belum mempunyai fasilitas komputer forensik yang memadai.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN DAN SARAN
3. 1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan di atas
terdapat tiga masalah pokok yang dibahas di dalam makalah ini antara lain :
1. Opini umum yang terbentuk bagi para pemakai jasa
internet adalah bahwa cybercrime merupakan perbuatan yang merugikan. Para
korban menganggap atau memberi stigma bahwa pelaku cybercrime adalah penjahat.
Modus operandi cybercrime sangat beragam dan terus berkembang sejalan dengan
perkembangan teknologi, tetapi jika diperhatikan lebih seksama akan terlihat
bahwa banyak di antara kegiatan-kegiatan tersebut memiliki sifat yang sama
dengan kejahatan-kejahatan konvensional. Perbedaan utamanya adalah bahwa
cybercrime melibatkan komputer dalam pelaksanaannya. Kejahatan-kejahatan yang
berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem
komputer perlumendapat perhatian khusus, sebab kejahatan-kejahatan ini memiliki
karakter yang berbeda dari kejahatan-kejahatan konvensional.
2. Sistem perundang-undangan di Indonesia belum mengatur
secara khusus mengenai kejahatan komputer melalui media internet. Beberapa
peraturan yang ada baik yang terdapat di dalam KUHP maupun di luar KUHP untuk
sementara dapat diterapkan terhadap beberapa kejahatan, tetapi ada juga
kejahatan yang tidak dapat diantisipasi oleh undang-undang yang saat ini
berlaku.
3. Hambatan-hambatan yang ditemukan dalam upaya melakukan
penyidikan terhadap cybercrime antara lain berkaitan dengan masalah perangkat
hukum, kemampuan penyidik, alat bukti, dan fasilitas komputer forensik.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan yang ditemukan di
dalam melakukan penyidikan terhadap cybercrime antara lain berupa penyempurnaan
perangkat hukum, mendidik para penyidik, membangun fasilitas forensic
computing, meningkatkan upaya penyidikan dan kerja sama internasional, serta
melakukan upaya penanggulangan pencegahan.
3.2 Saran
Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai saran
sehubungan dengan hasil penelitian terhadap cybercrime adalah sebagai berikut :
1) Undang-undang tentang cybercrime perlu dibuat secara
khusus sebagai lexspesialis untuk memudahkan penegakan hukum terhadap kejahatan
tersebut.
2) Kualifikasi perbuatan yang berkaitan dengan cybercrime
harus dibuat secara jelas agar tercipta kepastian hukum bagi masyarakat
khususnya pengguna jasa internet.
3) Perlu hukum acara khusus yang dapat mengatur seperti
misalnya berkaitan dengan jenis-jenis alat bukti yang sah dalam kasus
cybercrime, pemberian wewenang khusus kepada penyidik dalam melakukan beberapa
tindakan yang diperlukan dalam rangka penyidikan kasus cybercrime, dan
lain-lain.
4) Spesialisasi terhadap aparat penyidik maupun penuntut
umum dapat dipertimbangkan sebagai salah satu cara untuk melaksanakan penegakan
hukum terhadap cybercrime.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Raharjo, 2002,Cybercrime, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Andi Hamzah, 1990, Aspek-aspek Pidana di
Bidang Komputer, Sinar Grafika, Jakarta.
David I. Bainbridge, 1993, Komputer dan Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta.
Undang-Undang Telekomunikasi 1999, 2000, cetakan
pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
Niniek Suparni, 2001, Masalah Cyberspace ,
Fortun Mandiri Karya, Jakarta.
Suheimi, 1995, Kejahatan Komputer ,
Andi Offset, Yogyakarta.
Widyopramono, 1994, Kejahatan di Bidang
Komputer , Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.